Penulis:

- Tanpa Nalar

Palu, Seraya.id – Kamus Besar Indonesia karib dikenal KBBI mengartikan gelar sebagai sebutan kehormatan, kebangsawanan, dan kesarjanaan yang biasa ditambahsematkan pada seseorang.

Ketiganya mengandung tingkat ketinggian derajat penyandangnya. Agar dirinya mendapatkan penghormatan dari khalayak karena status kedudukan atau jabatan, kecerdasan ataupun keturunan.

Yang pada akhirnya adalah privilege atas fasilitas dan pelbagai kemudahan hidup lainnya. Atau setidaknya kebanggaan atas penempatan gelar yang diraih.

  • Ambiguitas ‘Penempatan' Gelar

Sejauh ini belum ada kejelasan mutlak sejak kapan gelar-gelar itu diciptakan.

Secara tradisional gelar ini coba dipertahankan. Namun sisi peran gelar mulai banyak ditinggalkan.

Amsal keberadaan dan fungsi kerajaan Inggris saat ini sedang banyak dipertanyakan. Keberadaan gelar-gelar akademis di era digital digantikan dengan portofolio.

Gelar kecerdasan akademis sejatinya hanya berlaku di dalam kampus alias perguruan tinggi. Namun masih acap gelar ini dipakai dalam urusan kepegawaian di pemerintahan. Untuk apa? Tidak jelas juga.

Dan tak pernah disebutkan fungsi dan keperluan gelar-gelar itu disematkan terus-menerus di setiap kesempatan.

  • Titah Gelar Tanpa Nalar

Gelar kepada para nabi condong kepada doa. Bukan untuk privilege atau hak istimewa. Bukan pula untuk fasilitas ataupun kekayaan.

Tetapi makin kesini gelar-gelar keagamaan semakin bergeser maknanya. Dan semakin banyak diciptakan, semisal haji, ustadz, gus, pendeta, imam besar, kyai dan lain sebagainya.

Seolah-olah dengan gelar, seseorang punya kemampuan tertentu. Sepasang mata memandang pukau kekaguman. Bisa menyihir khalayak untuk tunduk.

Titah sang empunya gelar jadi layak untuk diikuti tanpa nalar.

  • Pesta ‘Gelar' Demokrasi, Muara Tanya Hari Kemudian

Selanjutnya, di tahun menjelang pesta demokrasi di negeri ini, “gelar” menjadi sorot penting kembali.

Ada yang asli pun yang palsu. Banyak bertebaran di baliho-baliho. Seakan-akan kepercayaan diri hilang manakala gelar tak tersematkan. Bila mengibaratkan, jatuhnya pesta ‘gelar' demokrasi.

Apakah memang benar gelar layak dikejar tanpa makna?

Baca Juga

Rasanya tak ada satu pun ajaran spiritual memaparkan pemahaman, bahwa kelak Tuhan akan menanyakan gelar di hari kemudian.

Pun bagaimana bayang nalar manusia kalau jadi soal: Pesta ‘Gelar' Demokrasi, Muara Tanya Hari Kemudian? (Penyunting: MFS Lanoto)