Seraya.id, Palu Menyahuti wacana yang baru-baru ini terkuak di ruang maya Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah ihwal keresahaan warganet akan potensi punahnya di Kota Palu.

Jika dilihat secara permukaan, fenomena ini mungkin dapat dibenarkan. Sepengamatan penulis-bisa benar dan bisa salah-jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Sulawesi Selatan yang mayoritas bersuku Bugis dan wilayah Jawa yang mayoritas bersuku Jawa. Nampaknya penutur bahasa Kaili di Kota Palu khususnya pada generasi muda jauh lebih sedikit.

Hal ini tentu menjadi tanda yang tidak cukup baik bagi keberlanjutan Kaili itu sendiri. Bagaimana tidak, bahasa merupakan salah satu unsur penting yang dapat menyampaikan pesan-pesan terutama soal nilai dari suatu kebudayaan.

Sebagai seorang anak Kaili, secara pribadi penulis cukup khawatir. Kehilangan bahasa bahkan nilai kebudayaan luhur yang diwariskan oleh nenek moyang. Kemudian akan tergerus oleh perkembangan budaya, sosial, ekonomi, politik Kota Palu yang kian urban. 

Jujur menulis tentang hal ini juga menjadi suatu dilema. Apakah opini ini akan dianggap sebagai membangkitkan semangat primordialisme berlebihan.

Namun setelah dipikir-pikir tentu tidak. Mengingat bahkan di wilayah-wilayah lain di Indonesia memiliki kebijakan untuk mengafirmasi berbagai upaya pemeliharaan/pelestarian kebudayaan, dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan sumber daya manusia, hingga kesejateraan ekonomi masyarakatnya.

Umum kita ketahui, hal tersebut dilakukan dalam kerangka kebijakan khusus seperti di wilayah Yogyakarta, Papua, Aceh, bahkan yang terbaru adalah Jakarta.

Menjadi menarik jika melihat Undang-Undang baru terkait Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Salah satu poin penting yang menunjukkan oleh pemerintah terkait budaya suku Betawi yang ada di Jakarta.

Kalimatnya, “Pemerintah DKJ berwenang memajukan kebudayaan Betawi, tradisi, budaya kontemporer dan budaya populer yang berkembang di wilayah Jakarta.”

Jika melihat kutipan kalimat di atas, tentu tidak menjadi masalah jika hal yang sama dilakukan di Kota Palu. Dalam konteks memelihara, mempertahankan dan melestarikan bahasa Kaili di tanah kelahirannya. 

Namun tulisan ini tidak dalam rangka mengklaim bahwa kebudayaan, tradisi, dan bahasa Kaili sudah betul-betul diambang kepunahan. Masih banyak masyarakat, pelaku budaya, seni yang masih mengaplikasikan semua elemen kebudayaan ini dalam kehidupan sehari-hari.

Anggaplah tulisan ini sekadar memberikan informasi, bahwa fenomena ini sudah dan barangkali akan terus terjadi. Sebagai anak Kaili, penulis kadang berfikir, apakah satu waktu Kaili dan semua nilai beserta instrumen kebudayaanya perlu diafirmasi?

Penulis: Nurhidayat Mohammad Ishak a.k.a Mangge Dayat

Penyunting: MFS Lanoto, S.S.