: Sambulu Gana dan Sambulu Garo Berbeda Filosofinya. Baiknya Buat FGD

Palu, Seraya.id – Meluruskan literasi tata bahasa sejarah kebudayaan tentu masih punya ruang pun nilai sendiri, dari perspektif empu tentunya.

Seakan tak ingin menepi dari alur gerusan zaman, KHST (Komunitas Historia Sulawesi Tengah) kembali menanggapi penyematan nama yang dianggap kurang tepat di persimpangan Jalan Sudirman – Hasanuddin, Kelurahan Besusu Barat, Palu, Sulteng.

Di saat masa pemugaran tugu berjuluk ‘Sambulu Gana' masih berlangsung, jadi masa tepat pula Koordinator KHST, Mohammad Heriantho dan Matt Slengean menawarkan pemugaran julukannya menjadi ‘Sambulu Garo'.

“Sambulu Gana oleh masyarakat Suku kental maknanya khusus untuk acara prosesi pernikahan. Kenapa dibilang Nagana (diserap jadi Gana) karena Nu Balengga Nu Unto. Balengga-nya itu biasanya kambing, Unto-nya itu emas. Makanya (filosofi) ini melekat kalau mau sesembahan oleh pengantin pria Sambulu Gana dibawa ke mempelai wanita,” Antho karib sapaannya menjelaskan kepada Seraya.id, Kamis, 25 Mei 2023.

Sementara Sambulu Garo spesifik dikenal sebagai ritual umum semisal penyambutan tamu, upacara adat oleh To Kaili.

“Jadi kalau filosofinya untuk menyambut orang atau tamu datang yang paling tepat itu adalah Sambulu Garo. (Perangkat Sambulu Garo) buah pinang, baulu (daun sirih), toila (kapur sirih), dan lainnya. Dia umum sebagai upacara adat, penerimaan tamu dan sebagainya,” tuturnya bersama Matt.

Meski mereka juga tidak mempersoalkan gambar bangunan tugu titik nol khatulistiwa itu, sebab sesuai gambaran Sambulu Garo oleh anggapan pembuatnya.

Informasi yang diperoleh redaksi Seraya.id, proyek perbaikan tugu bermotto Masintuvu Kita Maroso, Morambanga Kita Marisi (Kaili red: Bersama Kita Kuat, Bersanding Kita Kokoh) tersebut juga akan menambahkan prasasti yang menjelaskan makna tiap bagian tugu.

Kemudian dilanjut Matt, mereka menyarankan selaku pihak berwenang atas tugu itu membuat Focus Group Discussion (FGD) sebagai sarana pihak terkait, mulai tokoh adat, tokoh masyarakat dan lainnya.

“FGD ini bagi kami sangat penting dibuat sebagai sarana publik, guna menghasilkan bahasan-bahasan yang tepat secara musyawarah atas pemugaran tugu itu,” ucap Matt.

Kedua Sejarawan Bumi Tadulako itu berlandas mengutamakan pelestarian Bahasa Kaili, di tengah kabar bermunculan kian ditinggalkan dalam ambang kepunahannya.

Terlebih kala Kaili disemat di objek vital keramaian kota, tetap didukung dan diapresiasi, lebih-lebih dengan ketepatan tata sastranya. (MFS Lanoto)