Seraya.id, – Forum Revitalisasi , sebuah kelompok lintas kalangan pemerhati Kota Palu, secara khusus menaruh perhatian akan keadaan gedung sarat sejarah di Lembah Palu, menghelat aksi peduli Gedung Juang.

Minggu, 23 Juli 2023, bertempat di selasar Gedung Juang Jalan Hasanuddin, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, forum itu membahas salah satu pokok upaya, mengusulkan Gedung Juang menjadi oleh negara.

Giat itu sekaligus mengadakan jelajah sejarah dan bersih-bersih di Gedung Juang, mulai pukul 07.00 – 10.00 pagi waktu setempat.

Menariknya, Forum Revitalisasi Gedung Juang menghadirkan Sejarawan nasional kelahiran Jakarta, JJ. Rizal selaku Pendiri Komunitas Bambu (Kobam) yang turut dihadiri pejabat , salah satunya Kepala Dinas Tata Ruang, Achmad Arwien Afries.

Muhammad Heriantho, salah seorang penggerak forum itu kepada redaksi Seraya.id di sela giat menjelaskan, Gedung Juang mulanya merupakan rumah (Gezaghebber) Onder Afdeeling Palu.

Antho berungkap, pembangunannya dimulai pada 1 Juni 1924, di masa pemerintahan Kontrolir M.C Voorn (31 Mei 1924 – 9 Desember 1925 Masehi).

Dalam dokumen Aanvullings Memorie van de Onder Afdeeling Paloe yang ditanda tanganinya tertanggal 14 Desember 1925, M. C Voorn merencanakan rumah itu sedianya akan rampung pembangunan akhir Desember 1924.

“Akan tetapi keadaan keuangan di Onder afdeeling Paloe saat itu kurang mendukung menyebabkan penundaan penyelesaian, sehingga rumah tersebut baru bisa difungsikan pada 1 April 1925,” tutur Antho karib sapaannya.

Secara historis, ujar Antho, pembangunan rumah Kontrolir Onder Afdeeling Paloe tahun 1924 tidak terlepas dari kawasan baru yang diproyeksikan oleh penguasa sipil di Teluk Palu, untuk menggantikan rumah dan kantor kontrolir sebelumnya yang kerap terdampak luapan aliran sungai Palu.

“Sebagai bagian dari bangunan rumah tinggal kontrolir tersebut, dibuatlah ruang terbuka yang berfungsi sebagai alun-alun kota hingga tahun 1940-an,” ucapnya.

“Demikianlah sebuah penanda Palu sebagai ruang kota modern dimulai,” imbuh Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST).

Itulah sebabnya rentang tahun 1942 hingga 1945 atau fase pendudukan Jepang, bangunan rumah Kontrolir dengan alun-alunnya sebagai simbol pusat kota modern Palu segera diubah fungsinya menjadi markas pasukan Jepang.

Sementara lapangan di depannya berubah nama menjadi lapangan Honbu yang artinya markas besar.

Buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Tengah menyebut, 31 Desember 1946, bekas rumah Kontrolir ini pernah menjadi lokasi perundingan antara L. Barrau dengan pimpinan Gerakan Merah Putih, yang membawa massa kurang lebih 1.000 orang berasal dari Sigi, Dolo, Tawaeli dan Palu untuk menuntut pembebasan anggota Gerakan Merah Putih yang ditahan.

Selang sekira 4 tahun kemudian, 1 Mei 1950, bekas rumah Kontrolir Palu ini dijadikan markas oleh pasukan Penjaga Keamanan Rakyat (PKR) pimpinan R. Soengkowo.

Lebih jauh Antho bertutur, hal itu diikuti perubahan nama alun-alun di depan rumah tersebut dari lapangan Honbu menjadi Lapangan Nasional.

Dalam catatan sejarah Kota Palu, pada 6 Mei 1950, Lapangan Nasional menjadi tempat pembacaan maklumat oleh pucuk pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) sekaligus Magau Palu, Tjatjo Idjazah.

Isi maklumat itu salah satunya pernyataan tiga kerajaan, yakni Palu, Sigi – Dolo, dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.

“Kemudian tahun 1978-1986, dilakukan penataan rumah tinggalan kontrolir tersebut,” sambungnya.

Di masa itulah namanya berubah menjadi Gedung Juang, pun termasuk ruang terbuka di depannya dilakukan penataan.

Memasuki Juni 2003, Pemerintah Kota Palu mengubah nama Lapangan Nasional menjadi Taman Nasional.

Antho mengungkapkan, berlatar belakang sejarah pentingnya pengembangan histori kota Palu sebagai kota modern, diperkuat arsitekturnya yang khas lewat hubungan antar budaya Kaili, Eropa, hingga negeri Sakura Jepang itulah, sudah saatnya Gedung Juang harus diselamatkan.

Adalah solusi terdini menetapkan menjadi cagar budaya dan menghidupkan aktivitas publik di dalamnya. (sf)