Seraya.id, Palu – Helatan ragam inventif inisiasi muda-mudi karib dalam dunia seni menarik perhatian lebih lintas kalangan di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah.
Melalui festival budaya bertajuk Sintasloka, Forum Sudutpandang selaku pemrakarsanya berupaya selalu hadir menyuarakan pelbagai isu yang kental di sisi masyarakat lembah Palu-untuk seluruh pihak termasuk pemerintah-hingga kembali ke masyarakat itu sendiri.
Sudutpandang menyaji Sintasloka demi mengingatkan siapapun atas peristiwa bencana alam 28 September 2018, agar setidaknya lebih sigap, sadar sampai mandiri memitigasi diri.
Dihelat maraton 11 hari berturut-turut sejak 26 Oktober-5 November 2024, menyasar Marlah! Hub, Sub Plaza Indonesia, Nemu Buku, serta Ruang Dualapan -tempat yang digandrungi banyak komunitas, sebagai wadah penyampai pesan pameran festival perdana berjuluk “Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa” ini.
Koordinator Umum Forum Sudutpandang Rahmadiyah Tria Gayathri kepada Seraya.id, menuturkan, selain pameran tersebut di atas, Sintasloka juga menghadirkan Simpul Suaka serta pertunjukan Nyanyian Laut.
“Selain itu Tentunya kami tidak sendiri, konsep kolaborasi tetap dijalankan. Ada tiga seniman undangan dari luar Kota Palu yang akan hadir, lima seniman lokal, serta tiga kelompok musik yang merepresentasikan Sulawesi Tengah,” ujar Rahmadiyah usai konferensi pers Sintasloka, Jumat petang, 25 Oktober 2024.
Wanita karib disapa Ama ini bilang, Sintasloka diproyeksikan sebagai agenda tahunan forum kolektif tersebut yang berdiri sejak 2016 silam.
Seperti yang berhasil mereka besut, macam album musik berjudul Memorama dan pembukuan “Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa” (sebuah cerita nyata dari anak rentang usia 6-11 tahun saat merasakan gempa bumi, tsunami, likuefaksi).
“Banyak gagasan yang telah dijalankan, tak sedikit membicarakan isu kebencanaan yang telah dilewati,” ucapnya.
Bukan untuk berlarut tak bangkit dari masa lalu, jauh lebih dari itu, pekerja lintas bidang seni ini bilang, pihaknya ingin semua warga sadar dan paham akan pengetahuan mitigasi dan penanggulangan risiko bencana.
“Upaya ini pun telah kami amini semenjak masa pemulihan peristiwa bencana alam 28 September 2018. Maka di antaranya lahirlah Memorama dan ‘Yang Kitorang Rasa Waktu Gempa'”, imbuhnya.
“Keduanya difungsikan sebagai wadah untuk menyalurkan pesan perihal kebencanaan, dengan bentuk yang mudah dipahami dan menyenangkan,” tandasnya.
Wawasan inovatif itu pun sampai memikat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI memasukkan Sintasloka ke agenda Pekan Kebudayaan Nasional (PKN).
Festival memoar itu adalah representasi hasil buah pikir luas lingkup kreativitas kesenian di tubuh para penggerak Forum Sudutpandang.
Memadukan gambar dan suara supaya fenomena 28 September 2018 tetap terasa, guna sasaran utamanya tersimpan dalam ragam bentuk pustaka, demi siapapun menaruh kesan romantika atas Sintasloka.