Seraya.id, Palu – Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) Kota Palu, Sulteng menghelat Seri Diskusi bertemakan ‘Revitalisasi Spirit dan Nilai-Nilai Perjuangan ' di salah satu warung kopi di Palu, Senin malam, 1 Juli 2024.

Giat yang perdana MD KAHMI Palu lakukan itu guna merefleksikan berbagai perjuangan nyata oleh sekaligus salah satu pendiri , Profesor Lafran Pane.

Hal itu pun sebagai tanggap memantik nilai gerakan nasionalisme seorang Lafran Pane, yang dikenalkan oleh salah seorang sutradara tanah air, melalui film yang tayang di bioskop 20 Juni 2024 lalu.

Panitia bahkan menghadirkan dua sosok narasumber dengan sarat keilmuan birokrasi, politik, dan lainnya yakni Sofyan Farid Lembah dan Arianto Sangaji.

Arianto Sangaji dalam pengantarnya menuturkan, ketika berbicara Lafran Pane, tentu berbicara nasionalisme.

Lafran adalah satu sosok yang teguh melawan penjajahan Belanda, ketika kelompok kolonial itu hendak menjajah kembali Indonesia pascakemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya pada 1947.

Sementara di tahun 1947 itu, Lafran, tutur Anto karib sapaannya, berlandaskan menjaga integritas NKRI demi menegakkan kesejahteraan rakyat.

“Mengapa penting bicara nasionalisme? Karena HMI lahir dan hadir pada saat bangsa kita baru 2 tahun merdeka, dan orang-orang (pendiri) itu terlibat perang melawan datangnya kembali Belanda. Semangat melawan penjajahan kolonialisme,” ujar Anto.

Sementara di tempo yang sama, Lafran Pane Cs sekaligus melawan imperialisme blok barat, yang kala itu Indonesia seperti di pulau Jawa dan Sumatera dijajah secara ekonomi dan politik.

Imperialisme barat itu, menimbulkan seluruh aktivitas ekonomi dikuasai oleh investor yang disebut sebagai kelas kapitalis transnasional dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat di bidang pertambangan, perminyakan, dan perkebunan.

“Jadi kehadiran HMI saat itu harus dilihat dari konteks itu, konteks nasionalisme anti terhadap penjajahan dan imperialisme yang dilawan oleh lahirnya HMI ini,” ucapnya.

Anto menambahkan, relevansi kisah lampau tersebut dengan kondisi saat ini adalah sejak kemerdekaan, orde baru, hingga pascareformasi hari ini, NKRI secara ekonomi belum mandiri, mengacu peta global makro.

“Ekonomi kita digerakkan secara masif oleh investasi luar negeri. Misalnya pengalaman [yang terjadi] di depan mata kita yaitu industrialisasi di Morowali dan Morowali Utara yang sangat masif,” ungkapnya.

Situasi ini menurut Anto penting direfleksikan oleh setiap kader HMI dan kalangan KAHMI, ihwal bagaimana sikap individu -organisasi keislaman kampus dan pascalulus kuliah- ini menanggapi fenomena yang ada di Indonesia, terkhusus di Sulteng.

Dilanjut Sofyan Farid Lembah, nilai-nilai yang digaungkan Lafran Pane terdiri dari keislaman, keilmuan, dan keindonesiaan sebagai wajah HMI hingga kini.

Sofyan menyampaikan, di antara nilai etika dan perjuangan, nilai kemanusiaan dan solidaritas telah redup di antara para kader sejak tahun-tahun belakangan.

“Nilai kemanusiaan dan solidaritas yang harus dimunculkan. [Kader] HMI ini sekarang asyik sendiri dengan keilmuan dan lainnya, tetapi ke mana berikutnya nilai kesejahteraan masyarakat sebagai landasan berdirinya HMI, atas upaya-upaya pergerakan kader HMI maupun KAHMI sendiri. Ini masih tanda tanya besar,” ungkap Sofyan.

Sulteng yang mengalami investasi besar-besaran nomor 3 atau 2 se-Indonesia, timpa Ian akrab panggilannya, diselingi angka kemiskinan yang terus bertambah, bertolak belakang dengan pernyataan Lafran Pane bahwa setiap insan HMI bertanggung jawab membangun peradaban yang baik.

“Nah ini menjadi tanggung jawab kita sebagai insan-insan HMI hingga KAHMI. Sementara belakangan ini jarang didengungkan kembali, kita asyik [terbuai] dan ternyata dunia perguruan tinggi saat ini berubah, bukan lagi jadi menara air tetapi jadi menara gading,” lugas Ian mengkritik.

“Mungkin karena dunia yang berubah jadi pragmatis sehingga menyebabkan keredupan situasi saat ini. Saya tidak mengkritik keluar tapi kita coba melihat ke dalam, karena HMI itu sangat bergantung atas perilaku setiap kadernya. Apakah sudah mencerminkan nilai keislaman, keindonesiaan, atau keilmuannya?” imbuh mantan Kepala Ombudsman Sulteng.

Giat itu pun memicu tanggapan hingga diskusi alot antara pembawa acara dengan dua narasumber itu, bersama puluhan hadirin dari kader aktif HMI serta kalangan KAHMI, yang beberapa dari mereka telah berusia lanjut.

Kemudian ditambahkan Sekretaris MD KAHMI Kota Palu Usman Dai, mewakili Ketua dr. Reny Lamadjido, menuturkan, kepada Seraya.id, Seri Diskusi telah dijadwalkan untuk dibuat lebih rutin.

“Ini sebagai salah satu cara ya, bagaimana kebiasaan kader HMI dulu kala itu berdiskusi dan berdebat,” kata Usman.

“Melalui Seri Diskusi ini tentu sebagai pemancing juga untuk para kader HMI yang aktif termasuk masyarakat umum membahas situasi Kota Palu, Sulteng, maupun isu nasional dan internasional yang sadar atau tidak akan berdampak di kota kita tercinta ini,” tandas Usman Dai. (sf)