Seraya.id, Jakarta – Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah melaksanakan pemilihan 5 orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 pada Kamis, 21 November 2024.
Mereka adalah Setyo Budiyanto selaku ketua, serta 4 wakil ketua yakni Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, Fitroh Rohcahyanto, dan Agus Joko Pramono.
Selain itu, Komisi III memilih sekaligus menetapkan 5 sosok Dewas (Dewan Pengawas) KPK yakni Benny Jozua Mamoto, Chisca Mirawati, Gusrizal, Sumpeno, serta Wisnu Baroto.
Kerangka pejabat utama lembaga anti rasuah ini menuai kritik dari sejumlah pihak seperti Koalisi Masyarakat Sipil.
Salah satunya dikritik oleh Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, berkata, semestinya DPR memilih pimpinan dan dewan pengawas yang punya rekam jejak nyaris sempurna di saat krisis integritas, berpihak kepada agenda pembenahan kelembagaan KPK dan pemberantasan korupsi.
“Faktanya, Komisi III DPR memilih calon dengan latar belakang bermasalah yang dekat dengan kepentingan politik. Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa proses seleksi ini sudah cacat sejak awal,” ujar Julius dalam keterangannya dinukil dari Kumparan.
Kritik itu dilontarkan Julius bukan tanpa alasan. Setidaknya ada tiga poin dasar Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti hal tersebut.
Pertama, Panitia Seleksi (Pansel) diduga kuat memilih calon yang memiliki kedekatan pribadi dengan Presiden ke-7 RI Jokowi. Pansel itu ditunjuk dan mulai bekerja saat Jokowi masih menjabat presiden.
“Hal itu dapat dibuktikan dari banyaknya nama yang secara rekam jejak dinilai cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dipenggal dalam proses seleksi awal. Pansel justru meloloskan nama-nama yang jelas-jelas memiliki rekam jejak buruk,” ungkap Julius.
Kedua, tahap seleksi terkesan sekadar formalitas. Seleksi wawancara yang dilakukan oleh Pansel maupun Fit and Proper Test di Komisi III DPR tidak menggali lebih dalam kepada calon.
Mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan, harta kekayaan yang mengalami fluktuasi tidak wajar, nir-integritas dan potensi benturan konflik kepentingan, hingga langkah konkret dalam upaya membenahi kelembagaan KPK usai Revisi UU KPK 2019.
“Padahal tanpa adanya perbaikan internal, KPK hanya jadi harimau yang kehilangan taringnya,” imbuhnya.
Ketiga, Fit and Proper test yang justru menetapkan lima calon sebagai Komisioner KPK 2024-2029 dengan rekam jejak buruk tanpa komitmen dalam memberantas korupsi.
“Salah satunya Johanis Tanak yang diduga melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penangkapan perkara di Mahkamah Agung yakni mantan Komisaris PT. Wika Beton, Tbk. pada 28 Juli 2023,” bebernya.
Ditambah, kata Julius, Johanis Tanak menegaskan, akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku ketika mengikuti Fit and Proper Test.
“Koalisi menilai bahwa Johanis Tanak tidak mampu mengukur efektivitas dan persentase keberhasilan pemberantasan korupsi melalui OTT atau niat menghapus OTT karena adanya transaksi politik dengan seseorang dan atau kelompok tertentu sehingga menjadikan KPK sebagai lembaga yang mati suri dalam menjalankan mandatnya sebagai pemberantas korupsi,” ucap Julius.
“Lebih parahnya, Komisi III DPR RI bahkan memberikan apresiasi dan tepuk tangan meriah saat Johanis Tanah menjelaskan bahwa akan menghapuskan OTT KPK,” tandas Julius Ibrani. (sf)