Seraya.id, Palu – Masyarakat Kota Palu yang berprofesi sebagai nelayan di sepanjang kawasan Teluk Palu mengungkapkan ragam keluhan menyertai mereka selama mengarungi lautan.
Bahkan pun sebelum menerjang ombak demi pundi penjualan ikan, nelayan dihadapkan tantangan awal, kerumitan payah mereka mendorong perahu ke titik apung imbas kedangkalan tepi pantai.
Arham, Ketua Rukun Nelayan Talise sampai-sampai berupaya mencari anggota DPRD Palu pada Kamis, 21 Desember 2023.
Arham berhasil meluapkan keluhannya dihadapan anggota Fraksi NasDem yakni Muslimun dan Imam Darmawan. Dia didampingi Ketua Himpunan Nelayan Sulawesi Tengah Djaya Rahman, serta nelayan lainnya guna mengisahkan kesulitan mereka berburu ikan.
Arham menyoroti tiga masalah utama menerpa nelayan Teluk Palu, yakni kawasan tambatan perahu, reklamasi, hingga bantuan perahu oleh Pemerintah Kota Palu.
Bersumber dari duit APBD Palu tahun anggaran 2022 dan 2023, berdasarkan data dan fakta di lapangan kata Arham, material kapal berbobot 5 ton dan perahu fiber tahun 2022 tidak sesuai spesifikasi, juga sesuai keinginan nelayan yang mengetahui sarana perahu.
Bahkan kerusakan pun dialami baik kapal pun perahu sejak awal penyerahan, yang menurutnya menambah beban ekonomi nelayan untuk ongkos perbaikan.
Disahuti Djaya Rahman kepada redaksi Seraya.id di lain waktu, maksud beban keuangan kepada para nelayan itu, disebabkan pendapatan hasil melaut yang hanya cukup untuk kebutuhan keluarga, justru dikeluarkan lebih untuk perbaikan kapal atau perahu.
“Kerugiannya adalah nelayan mengeluarkan biaya cukup banyak untuk memperbaiki kapal dan perahu yang semestinya biaya tersebut untuk kebutuhan ekonomi keluarga,” ungkap Djaya.
Dia pun bilang, mengacu beberapa hasil studi di lapangan, pembagian perahu tahun APBD 2023 tidak tepat sasaran. “Mewakili keluhan nelayan, perahu-perahu itu seharusnya diperuntukkan kepada murni nelayan, tetapi penerimanya bukanlah yang berprofesi sebagai nelayan,” ungkapnya.
Masalah berikutnya bermuara pada proyek tanggul dan tambatan perahu yang membentang dari Kelurahan Silae, Lere, Besusu dan Talise atau disingkat SILABETA.
Proyek menyerap dana hutang luar negeri dari Asian Development Bank (ADB) yang kurun 2 tahun silam telah rampung itu, menyisakan masalah pendangkalan air laut sebagai sandaran perahu.
Pendangkalan mengakibatkan hambatan melaut khususnya bagi nelayan Kelurahan Talise dan Kelurahan Besusu.
“Aktivitas nelayan khususnya di dua kelurahan itu terganggu, dikarenakan areal tambatan perahu utamanya pada pintu masuk tambatan mengalami pendangkalan,” ungkapnya.
Meski telah dilakukan pemeliharaan oleh pelaksana proyek tersebut melalui pengerukan di dalam areal tambatan, tetapi disayangkan Djaya pemeliharaan itu mandek atau tidak selesai hingga menyisakan masalah besar.
“Mengakibatkan perahu dan kapal tidak bisa keluar masuk karena material pengerukan ditumpuk atau ditempatkan pada areal perairan yang biasa dilalui kapal perahu milik nelayan,” bebernya.
Suasana kian diperkeruh lantaran adanya dampak buruk proyek reklamasi pantai teluk di Kelurahan Talise.
Lahan yang dijadikan reklamasi itu kata Djaya sebelumnya merupakan kawasan penangkapan ikan tradisional dengan jaring insang, alat tangkap pukat pantai, dan pancing tangan.
“Pantai teluk Palu di Kelurahan Talise (yang sebagian) sudah berubah menjadi lahan reklamasi (memiliki luasan) cukup panjang di mana aktivitas proyeknya dihentikan karena mendapat protes dari warga setempat karena tidak memiliki izin pekerjaan,” urai Djaya.
Sementara berdasarkan peraturan tanpa rinci disebut Djaya, bahwa area tersebut menjadi zona merah kemudian dijadikan ruang publik untuk kawasan rekreasi bagi masyarakat Palu.
“Kami meminta kepada pemerintah untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai area aktivitas nelayan seperti tambat labuh perahu dan kapal, galangan perahu, wilayah transaksi jual beli hasil tangkapan dan docking kapal perahu,” tandas Ketua Himpunan Nelayan Sulawesi Tengah Djaya Rahman. (sf)